Potret Pendidikan Kala Pandemi Covid-19
Hampir semua orangtua di
Indonesia pada saat ini, orang tua kebagian tanggung jawab mendampingi
anak belajar dari rumah. Banyak orangtua mengakui bahwa menjelaskan
berbagai mata pelajaran dan menemani anak-anak mengerjakan tugas-tugas sekolah
tidak semudah yang dibayangkan.
Kerja keras para guru
dan dosen selama ini sungguh patut diapresiasi. Di tengah pembatasan sosial
akibat wabah covid-19, kita harus tetap semangat mengejar dan mengajar
ilmu pengetahuan. Hampir tidak ada yang menyangka, wajah pendidikan akan
berubah drastis akibat pandemi covid19.
Konsep sekolah di rumah
(home-schooling) tidak pernah menjadi arus utama dalam wacana pendidikan
nasional. Meski makin populer, penerapan pembelajaran online (online
learning) selama ini juga terbatas pada Universitas Terbuka, program kuliah
bagi karyawan di sejumlah universitas dan kursus-kursus tambahan (online
courses).
Tapi, kebijakan physical
distancing untuk memutus penyebaran wabah, memaksa perubahan dari
pendidikan formal di bangku sekolah menjadi belajar dari rumah, dengan sistem
online, dalam skala nasional. Bahkan, ujian nasional tahun ini terpaksa ditiadakan.
Tantangan pendidikan
Sistem pendidikan online
pun tidak mudah. Di samping disiplin pribadi untuk belajar secara mandiri, ada
fasilitas dan sumber daya yang mesti disediakan.
Bersyukurlah masih mampu
memfasilitasi anak untuk pendidikan
jarak jauh, tapi mendengar keluhan banyak orangtua murid dan juga tenaga
pendidik yang kesulitan, baik dalam menyediakan perangkat belajar seperti
ponsel dan laptop maupun pulsa untuk koneksi internet.
Dengan kata lain, sistem
pembelajaran online ini berpotensi membuat kesenjangan sosial ekonomi yang
selama ini terjadi, menjadi makin melebar saat pandemi. Kemenaker (20/4)
mencatat sudah lebih dari 2 juta buruh dan pekerja formal-informal yang
dirumahkan atau diPHK. Dengan kondisi seperti ini, banyak orangtua kesulitan
menyediakan kesempatan pendidikan yang optimal bagi anak-anak mereka.
Dalam situasi yang lebih
buruk, orangtua malah bisa berhadapan pada pilihan dilematis: memberi makan
keluarga atau membiayai pendidikan anak. Ini berpotensi membuat angka putus
sekolah meningkat. Sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan
secara nasional mulai tanggal 16 Maret 2020, muncul indikasi naiknya angka
putus sekolah di berbagai tempat. Mulai dari Papua, Maluku Utara, hingga
Jakarta. Ini daerah-daerah yang tergolong zona merah dalam penyebaran wabah.
Angka putus sekolah dari kawasan perdesaan juga diperkirakan akan naik.
Dalam jangka panjang,
anak-anak yang putus sekolah ini memiliki kemungkinan lebih besar untuk
menganggur, baik secara tertutup atau terbuka. Ini bukan hanya secara
akumulatif akan menurunkan produktivitas nasional, tapi membuat mereka
terjebak dalam lingkaran tidak berujung (vicious circle) kemiskinan
struktural.
Sebagai langkah solusi
praktis, sejak awal saya berpendapat pemerintah perlu merealokasikan dana
pelatihan Rp5,6 triliun bagi 5,6 juta buruh dan pekerja yang diperkirakan
terdampak krisis ekonomi akibat wabah covid-19, menjadi bantuan langsung.
Sehingga, bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Termasuk, memastikan
keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka. Di sisi lain, pemerintah juga
perlu memperhatikan juga perlu memperhatikan nasib para guru, terutama
guru-guru swasta maupun guru honorer (termasuk guru tidak tetap),
yang masing-masing berjumlah hampir satu juta orang. Ketiadaan proses belajar
mengajar di sekolah, secara langsung dan tidak langsung, menurunkan
pendapatan mereka.
Pendidikan adalah kunci
Pendidikan merupakan
kunci pembangunan sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia merupakan
kunci terwujudnya Indonesia Emas 2045, yang adil dan sejahtera, aman dan damai,
serta maju dan mendunia. Pendidikan yang akan menentukan kemana bangsa ini akan
menyongsong masa depannya, apakah menjadi bangsa besar yang beradab, cerdas dan
siap beradaptasi dengan perubahan zaman. Atau, menjadi raksasa sakit, yang
tenggelam dalam berbagai persoalannya sendiri. Kalah dalam persaingan global,
dan dan bahkan diacak-acak berbagai kepentingan jangka pendek, baik dari dalam
maupun luar negeri.
Sejak dulu, berbagai
upaya reformasi pendidikan telah kita tempuh. Termasuk alokasi anggaran
pendidikan 20% dari APBN pada era pemerintahan Presiden SBY (2004-2014). Tapi,
masalah pendidikan nasional masih terkendala dua persoalan mendasar, yakni
soal akses dan kualitas pendidikan.
Dari sisi akses,
berbagai indikator seperti angka partisipasi murni, lama bersekolah, hingga
tingkat putus sekolah, masih membutuhkan kerja keras perbaikan. Meski, kita
tahu kebijakan sekolah gratis, program beasiswa, hingga penyelesaian problem
jarak dan akses menuju sekolah tengah diusahakan. Indikator rata-rata lama
sekolah (RLS) nasional yang baru 8,2 tahun atau se tara SLTP kelas 2 (BPS,
2018) menunjukkan persoalan kita di bidang pendidikan masih banyak.
Terkait kualitas, kita
juga masih harus meningkatkan kualitas tenaga pengajar, kurikulum pendidikan,
hingga tingkat daya saing pendidikan nasional. Kita perlu introspeksi, mengapa
lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi justru menjadi penyuplai tingkat
pengangguran.
Mari kita perbaiki strategi
link and match antara dunia pendidikan dan dunia lapangan kerja. Reformasi
pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua. Mari bersama kita perbaiki
semua aspek. Sistem rekrutmen tenaga pendidik, keterpaduan kebijakan anggaran
pendidikan pusat dan daerah. Lalu, infrastruktur pendidikan, hingga
sub-komponen lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan nasional.
Pekerjaan rumah kita
dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional memang masih banyak. Pandemi
covid-2019 ini menyingkapkan sejumlah persoalan genting yang harus
segera diatasi karena menyangkkut keberlangsungan dan kualitas
pendidikan para murid serta kesejahteraan para murid guru maupun dosen.
Betapapun sulitnya, kita harus terus memperjuangkan dan mengawal proses
reformasi pendidikan, sebagai kunci kejayaan NKRI.
Sumber: www.mediaindonesia.com
Sumber: www.mediaindonesia.com
0 Response to "Potret Pendidikan Kala Pandemi Covid-19"
Post a Comment